12 Jan 2017

Mochamad Nurdin, S.Pi, M.Si, Pelopor dan Publikator Produktif Bidang Kelautan Perikanan

FKP3D, Korwil Barat - Mochamad Nurdin, S.Pi, M.Si lahir di Kota Bogor (Provinsi Jawa Barat) pada tanggal 13 Juli 1983. Pada Tahun 2005 telah menyelesaikan pendidikan Sarjana Perikanan (S1) di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Teknologi Manajemen Akuakultur, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selanjutnya pada Tahun 2014 telah menyelesaikan pendidikan Magister Sains (S2) di Institut Pertanian Bogor pada Mayor Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana.

Berhasil meraih juara III dalam lomba karya ilmiah perikanan tingkat provinsi Jawa Barat tahun 2015 dan terakhir, berhasil berada pada peringkat III penyuluh perikanan teladan kabupaten Bogor. Nurdin, merupakan seorang penyuluh perikanan yang tergolong produktif dalam menulis dan melakukan publikasi.

Tercatat sudah puluhan karya ilmiah yang telah dipublikasikannya, baik dalam bentuk jurnal ilmiah maupun prosiding pada seminar nasional dan regional.  Melalui media terdengar, sudah beberapa kali karya Nurdin disiarkan melalui RRI dan Radio Siaran Swata lainnya. Sementara, untuk urusan media tertayang, Nurdin juga termasuk penyuluh yang berhasil membagikan karyanya kepada pemirsa diseluruh tanah air dengan ditayangkannya beberapa liputan oleh stasiun televisi nasional.

TVRI telah meliput kegiatan budidaya ikan lele sangkuriang oleh kelompok pembudidaya ikan Sinapeul, Desa Pancawati-Kecamatan Caringin yang notabene merupakan kegiatan yang dilakukan  Nurdin pada kelompok binaannya.  Kemudian kegiatan yang lainnya, Teknologi Yumina Bumina oleh kelompok pembudidaya ikan Rahmatan III, Desa Palasari-Kecamatan Cijeruk juga telah ditayangkan di KompasTV pada acara “Sapa Indonesia”.
Mochamad Nurdin pada acara Sapa Indonesia di KompasTV
Yang paling berkesan dan membanggakan bagi Nurdin adalah ketika Dia berhasil mewakili Indonesia dalam kegiatan Technical Workshop Advancing Aquaponics: An Effecient Use of Limited Resources pada tahun 2015 dan dilanjut dengan kegiatan Workshop Advancing Aquaponics pada tahun 2016. Kegiatan tersebut adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh FAO dan KKP yang diikuti oleh 15 perwakilan dari negara-negara di dunia.

Sebagai seorang penyuluh, menulis bagi Nurdin adalah kegiatan setengah wajib. Apalagi bagi penyuluh yang berada dalam jabatan Penyuluh Ahli. Menulis merupakan kegiatan pengembangan profesi bagi penyuluh perikanan yang sebaiknya dibiasakan. “Kemampuan menulis harus selalu diasah”, terang Nurdin. “Kita harus membuat target yang terukur untuk dapat menghasilkan sebuah karya ilmiah” lanjutnya.

Tentang kondisi terkini, terkait carut-marutnya penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional, Nurdin hanya bisa berharap agar segera dicarikan penyelesaiannya. “Imbasnya bukan hanya pada penyuluh perikanan saja, tetapi berpengaruh juga terhadap keberlanjutan pembinaan ribuan kelompok pelaku utama di Seluruh Indonesia yang selama ini dibina oleh penyuluh perikanan” jelas Nurdin.

Seperti saya misalnya, “dampak dari berlakunya UU 23 Tahun 2014, membuat saya distafkan dan diperbantukan di Dinas Ketahanan Pangan kabupaten Bobor, padahal menurut UU tersebut seharusnya penyuluh perikanan sudah menjadi pegawai pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan-red)".  Karena kewenangan penyelenggaraan penyuluhan perikanan hanya menjadi kewenangan pusat dan faktanya sampai saat ini penyuluh perikanan masih belum ditarik kepusat, daerah akhirnya 'menstafkan' saya" jelas Nurdin.

"Hal ini tentu saja menyebabkan tupoksi saya sebagai penyuluh perikanan nyaris tidak bisa dilakukan, yang berarti akan berpengaruh signifikan terhadap perkembangan puluhan kelompok yang biasa saya bina", lanjutnya.

Nurdin berharap polemik tetang penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional segera berakhir sehingga penyuluh perikanan bisa menjalankan tupoksinya secara maksimal dalam rangka pembinaan pelaku utama perikanan. Dia juga mengharapkan kepada pihak-pihak terkait untuk taat dan tunduk dalam menjalankan amanat UU 23 Tahun 2014, sehingg nasib penyuluh perikanan tidak terkatung-katung.

Baca Selengkapnya...

9 Jan 2017

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU BAJO DI SULAWESI TENGGARA MENDUKUNG KELESTARIAN SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU BAJO DI SULAWESITENGGARA MENDUKUNG KELESTARIAN SUMBERDAYAKELAUTAN DAN PERIKANAN

Mirnawati Firdaus
(Penyuluh Perikanan Muda)

Pendahuluan

Indonesia dikenal dengan negara yang kaya akan sumberdaya alam dan memiliki bermacam adat istiadat, yang hingga kini masih membudaya, meski terus tergerus oleh kemajuan teknologi dan informasi global/dunia. Arus globalisasi dan peningkatan ilmu pengetahuan hingga kini semakin terasa dampaknya, dibarengi dengan pertambahan jumlah penduduk yang semakin mendesak alam untuk pemenuhan setiap kebutuhan. Tanpa disadari, laju eksploitasi semakin meningkat dengan didukung oleh semakin canggihnya peralatan industri teknologi. Hingga kemudian menyebabkan daya dukung lingkungan terlampaui dan bukan saja dapat mengancam kelestarian sumberdaya alam itu sendiri, tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan pencemaran.
Mirnawati Firdaus, dengan bukunya Kearifan Lokal: Dari Tano Batak ke Maluku Editor: Andin H. Taryoto
Indonesia dengan garis pantai terpanjang, yakni 81.000 km, di huni sekitar 40 juta jiwa yang mendiami wilayah pesisirnya, sedikit banyak telah mempengaruhi keberadaan dan status ekosistem perairan, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatifnya. Status/pengaruh positif atau negatif tersebut, sangat bergantung pula pada tingkat pendidikan dan sosial budaya dari masyarakat pesisir tersebut. Artinya masyarakat dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi dan karakter sosial budaya yang masih kental, lingkungan pesisir dan sumberdaya alam di sekitar tempat tinggal mereka, masih terjaga/terpelihara kelestariannya. Secara tidak langsung budaya yang masih kental dalam kehidupannya, mendukung pelestarian ekosistem.

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan topografi yang terdiri atas daratan dan lautan lengkap dengan beberapa pulau kecil. Masyarakat Sulawesi Tenggara terdiri dari beberapa etnis/suku dan budaya/agama. Etnis/suku terbesar di Sulawesi Tenggara terdiri diri etnis tolaki, buton, muna dan bugis-makassar (pendatang/perantau yang kemudian menetap di Sulawesi Tenggara). Masyarakat Sulawesi Tenggara yang bermukim di wilayah pesisir/laut sepanjang Sulawesi Tenggara, di kenal dengan masyarakat etnis/suku bajo (orang bajo).

Orang bajo yang umumnya bermukim di wilayah pesisir ini, tersebar di hampir seluruh wilayah pesisir Sulawesi Tenggara, diantaranya di Kabupaten Konawe Kepulauan yang lebih di kenal pulau Wawonii, di pesisir Kabupaten Konawe Utara (Desa Lemo Bajo), di Kepulauan Wakatobi, Kabupaten Muna, Kabupaten Buton Utara dan beberapa wilayah pesisir lainnya di kabupaten/kota Sulawesi Tenggara. Mereka berdiam, berkumpul, beraktivitas dan berinteraksi dengan lingkungan laut, hingga beberapa generasi keturunannya. Nuansa kehidupan mereka sangat akrab dengan alam pesisir/laut. Kebudayaan lokal/kearifan lokal yang turun temurun diwariskan dari satu generasi ke generasi lain, menjadi bekal pengetahuan mereka dalam memanfaatkan sumber daya alam, sekaligus dalam pengelolaan wilayah pesisir/laut, sehingga tetap terjaga kelestariannya.

Orang bajo umumnya bermatapencaharian sebagai nelayan. Aktivitas kesehariannya sangat bergantung pada pesisir dan laut. Dapat dikatakan bahwa 99,99% sumberdaya alam yang mereka manfaatkan untuk kehidupan sehari-hari adalah yang berasal dari pesisir dan laut di sekitar tempat tinggal mereka. Begitu akrabnya mereka dengan lingkungan pesisir dan laut, sehingga rumah tinggal mereka pun di bangun di atas laut yang berbahan dasar kayu/papan dan atap rumbia. Pengalaman penulis ketika melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Lemo Bajo Kecamatan Lasolo Kabupaten Konawe Utara Tahun 1999, orang bajo menyebut “sayur” untuk ikan-ikan yang berukuran kecil (seperti ikan teri), dan hanya menganggap/mengakui “lauk” untuk ikan yang lebih besar seperti Ikan kerapu, tuna, ikan putih dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa nuansa kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh laut. 

Sepenggal Kisah Suku Bajo dalam Karya Ilmiah Kearifan Lokal yang ada pada Buku Kearifan Lokal: Dari Tano Batak ke Maluku, Editor: Andin H. Taryoto. Untuk Membaca secara lengkap, silahkan buka atau unduk pada link berikut: KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU BAJO DI SULAWESITENGGARA MENDUKUNG KELESTARIAN SUMBERDAYAKELAUTAN DAN PERIKANAN oleh Mirnawati Firdaus

Baca Selengkapnya...