4 Jan 2017

Kearifan Lokal: PERTEMUAN KELOMPOK “SELAPANAN” DI KABUPATEN TEMANGGUNG

PERTEMUAN KELOMPOK “SELAPANAN
DI KABUPATEN TEMANGGUNG
Oleh : Mahmud Efendi, S.Tr.Pi. (NIP. 19770530 201001 1 011)
(Penyuluh Perikanan PNS Bapeluh Kab. Temanggung)

Pengantar

Secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagau budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dengan adanya kemajuan teknologi belakangan ini membuat orang lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungannya. Seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan jaman dibada sekarang ini. kondisi ini lebih diperparah dengan tidak lagi memperhatikan budaya lokal dalam merencanakan dan melaksanakan  pembangunan.


Mahmud Effendi dengan Bukunya Kearifan Lokal: Dari Tano Batak ke Maluku. Editor: Andin H. Taryoto 
Ketika sebuah budaya positif dilakukan berkesinambungan dan terus dipertahankan secara turun temurun, maka akan menjadi sebuah kearifan pada suatu daerah.  Budaya tersebut bisa menjadi sebuah kearifan lokal yang senantiasa  terjaga apabila mampu menempatkannya pada posisi yang tepat. Keberadaan kearifan lokal, diberbagai daerah memiliki ciri khas tertentu, dan dari kekhasan tersebutlah akan memunculkan sisi positif yang perlu dipelajari. Berbagai makna yang tersirat di dalam kearifan lokal akan mewujudkan kearifan nasional.

Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sebenarnya sudah ada di dalam kehidupan bermasyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini. Kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya (Wietoler dalam Akbar, 2006)[1]

Perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun. Karenanya dalam membangun sumber daya manusia, termasuk didalamnya sumber daya manusia kelautan dan perikanan sewajarnyalah untuk senantiasa memperhatikan local wisdom ini. Begitu juga dengan pelaksanaan penyuluhan perikanan merupakan keniscayaan bagi para penyuluh perikanan untuk memperhatikan kearifan lokal yang ada di lingkungan sasaran penyuluhannya. Karena kegiatan penyuluhan tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek yang bersifat lokal kedaerahan. Seorang penyuluh yang baik pasti akan mencoba mempelajari, menyesuaikan diri, dan kemudian memanfaatkan aspek-aspek “lokal spesifik” tersebut untuk menunjang kelancaran kegiatan penyuluhan yang dilakukannya. Karenanya kearifan lokal yang berkembang di wilayah kerja penyuluh adalah salah satu aspek yang harus menjadi perhatian setiap penyuluh. [2]

Melihat kondisi tersebut maka pembelajaran berbasis kearifan lokal bagi para penyuluh maupun calon penyuluh sangatlah dibutuhkan.  Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada Pasal 26 Ayat 3 bahwa penyuluhan dilakukan dengan menggunakan pendekatan partisipatif melalui mekanisme kerja dan metode yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha. Karenanya mengetahui kondisi pelaku perikanan dengan mempelajari kearifan lokal yang ada pada lingkungan sasaran penyuluhan amatlah dibutuhkan sebelum melakukan aksi penyuluhan. Dengan mengetahui hal tersebut diharapkan akan menunjang keberhasilan kegiatan penyuluhan karena telah disesuaikan dengan kearifan lokal yang ada. Sehingga diharapkan tidak terjadi conflict of interest pada proses pelaksanaan penyuluhan antara penyuluh dengan sasaran penyuluhan.

Kabupaten Temanggung merupakan salah satu sentra tembakau,  sehingga banyak penduduknya mengandalkan sektor ini sebagai urat nadi perekonomiannya. Kabupaten ini memiliki beberapa sumber mata air yang mengalir di sepanjang tahun karena letaknya yang berada di kaki Gunung Prahu SuSi (Gunung Perahu, Sumbing dan Sindoro). Sebagian besar lokasi yang berada tidak jauh dari kaki gunung tersebut menyumbangkan limpahan sumber air yang belum termanfaatkan secara maksimal. Bahkan saat musim kemarau pun sumber airnya tidak mengering dan terus mengairi sebagian besar wilayah di kabupaten ini.  Sumber air tersebut tidak hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat, namun juga mampu digunakan sebagai sumber air untuk sektor perikanan. Sehingga kondisi ini memungkinkan dikembangkannya sektor perikanan yang masih belum tergali potensinya.

Nukilan diatas adalah salah satu karya ilmiah kearifan lokal yang ditulis oleh #penyuluhperikanan dan telah dipublikasikan dalam bentuk buku: Kearifan Lokal: Dari Tano Batak ke Maluku dengan editor Andin H. Taryoto. Untuk membaca secara lengkap, pembaca yang budiman dapat melihat dan mengunduhnya di link berikut ini: "PERTEMUAN KELOMPOK “SELAPANAN” DI KABUPATEN TEMANGGUNG"



[1] Akbar, Sa’dun. 2006. Pengembangan Kurikulum IPS. Malang: Pascasarjana Universitas Kanjuruhan 
[2] Taryoto, A.H., et all. 2015. Kearifan Lokal:  Dari Ranah Minang ke Timor Lorosa’e. Bogor : CV Rajawali  Corporation.

Baca Selengkapnya...

3 Jan 2017

PALABUHANRATU, KEONG MACAN DAN JODANG : KEKAYAAN ALAM DALAM PERSPEKTIF MITOLOGI DAN ILMIAH

PALABUHANRATU, KEONG MACAN DAN JODANG : KEKAYAAN ALAM DALAM PERSPEKTIF MITOLOGI DAN ILMIAH.
(Oleh : Sukma Budi Prasetyati, S.Pi)

Eksotisme Teluk Palabuhanratu
Palabuhanratu adalah sebuah Kecamatan yang juga menjadi Ibukota Kabupaten Sukabumi. Terletak sekitar 60 km di Selatan Kota Sukabumi, disini terdapat sebuah teluk yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Teluk Palabuhanratu memiliki dasar perairan seperti mangkuk berbentuk cekungan yang berdinding curam dan tajam. Ombaknya tergolong tinggi dan bertenaga kuat. Tak heran, di sepanjang pantai yang berada di sekitar Teluk Palabuhanratu terdapat larangan berenang bagi wisatawan yang sedang berkunjung.
Cover buku Kearifan Lokal: Dari Tano Batak ke Maluku, Editor: Andin H. Taryoto
Perpaduan tebing-tebing karang terjal, ombak yang tinggi serta cagar alam yang ada di sekitarnya menjadikan Palabuhanratu terpilih sebagai salah satu dari sembilan Kawasan Wisata Unggulan (KWU) tingkat Provinsi Jawa Barat berdasarkan keunikan lokasi dan tingginya intensitas kunjungan wisatawan. Kecamatan yang secara administrasi berbatasan dengan Teluk Palabuhanratu terdiri dari empat kecamatan, yaitu Cisolok, Cikakak, Palabuhanratu dan Simpenan
Kawasan Teluk Palabuhanratu merupakan salah satu kawasan yang rawan bencana. Bencana yang berpotensi terjadi antara lain banjir, tanah longsor, pergerakan tanah, gempa bumi, dan tsunami (Kabupaten Sukabumi, 2009). Jika dilihat dari potensi bahaya, maka bahaya primer (primary hazard) yang terdapat di kawasan ini ialah gempa bumi, dengan bahaya ikutan (secondary hazard) berupa tsunami, longsoran tanah, dan gerakan tanah. Hal ini terjadi karena kawasan Palabuhanratu terletak di jalur Patahan (Sesar) Cimandiri yang membuatnya rawan terhadap gempa bumi. Sumber ancaman tsunami disebabkan oleh pertemuan pergerakan lempeng (zona subduksi) Indo-Australian dengan Lempeng Eurasia di bagian barat daya Pulau Jawa [1].
Mitologi masyarakat Sunda di Kabupaten Sukabumi menyebutkan bahwa pesisir Palabuhanratu merupakan bagian dari kekuasaan Ratu Laut Selatan. Sebagian masyarakat di wilayah pantai Selatan pulau Jawa termasuk Palabuhanratu di dalamnya masih mempercayai legenda Sang Ratu yang dihubungkan dengan Lara Kadita. Seorang putri cantik jelita kesayangan Prabu Siliwangi yang terbuang akibat konspirasi selir-selir istana yang saling memperebutkan tahta putra mahkota. Jika berkunjung ke pantai Palabuhanratu terdapat himbauan bagi wisatawan agar tak mengenakan baju berwarna hijau. Konon kabarnya, warna hijau adalah warna kesukaan Sang Ratu.
Setiap bulan April, nelayan di teluk Palabuhanratu selalu mengadakan upacara adat Labuh Saji. Upacara adat ini dianggap sebagai ungkapan rasa syukur para nelayan kepada Tuhan yang memberi kesejahteraan dan keberkahan kepada mereka. Meski sarat dengan mitos-mitos yang bagi sebagian masyarakat terutama masyarakat muslim dianggap sebagai khurafat, upacara adat labuh saji masih dilakukan hingga hari ini. (Tulisan ini merupakan sepenggal Karya Ilmiah yang diterbitkan dalam bentuk buku Kearifan Lokal: Dari Tano Batak ke Maluku) silahkan unduh melalui link ini untuk membaca secara lengkap!




[1] Paramesti, Chrisantum Aji. 2011. Kesiapsiagaan Masyarakat Kawasan Teluk Palabuhanratu terhadap Bencana Gempa Bumi dan Tsunami. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Volume 22; No. 2; Halaman 113 – 128.
Baca Selengkapnya...