PERTEMUAN KELOMPOK “SELAPANAN”
DI KABUPATEN TEMANGGUNG
Oleh : Mahmud Efendi, S.Tr.Pi. (NIP.
19770530 201001 1 011)
(Penyuluh Perikanan PNS Bapeluh Kab.
Temanggung)
Pengantar
Secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagau budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dengan adanya kemajuan teknologi belakangan ini membuat orang lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungannya. Seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan jaman dibada sekarang ini. kondisi ini lebih diperparah dengan tidak lagi memperhatikan budaya lokal dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan.
Ketika
sebuah budaya positif dilakukan berkesinambungan dan terus dipertahankan secara
turun temurun, maka akan menjadi sebuah kearifan pada suatu daerah. Budaya tersebut bisa menjadi sebuah kearifan
lokal yang senantiasa terjaga apabila
mampu menempatkannya pada posisi yang tepat. Keberadaan kearifan lokal,
diberbagai daerah memiliki ciri khas tertentu, dan dari kekhasan tersebutlah
akan memunculkan sisi positif yang perlu dipelajari. Berbagai makna yang
tersirat di dalam kearifan lokal akan mewujudkan kearifan nasional.
Mahmud Effendi dengan Bukunya Kearifan Lokal: Dari Tano Batak ke Maluku. Editor: Andin H. Taryoto |
Kearifan
lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sebenarnya sudah ada di dalam
kehidupan bermasyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga
saat ini. Kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam
berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari
nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang
terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi
dengan lingkungan di sekitarnya (Wietoler dalam Akbar, 2006)[1].
Perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan
berkembang secara turun-temurun. Karenanya dalam membangun sumber daya manusia,
termasuk didalamnya sumber daya manusia kelautan dan perikanan sewajarnyalah
untuk senantiasa memperhatikan local
wisdom ini. Begitu juga dengan pelaksanaan penyuluhan perikanan merupakan
keniscayaan bagi para penyuluh perikanan untuk memperhatikan kearifan lokal
yang ada di lingkungan sasaran penyuluhannya. Karena kegiatan
penyuluhan tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek yang bersifat lokal
kedaerahan. Seorang penyuluh yang baik pasti akan mencoba mempelajari,
menyesuaikan diri, dan kemudian memanfaatkan aspek-aspek “lokal spesifik”
tersebut untuk menunjang kelancaran kegiatan penyuluhan yang dilakukannya.
Karenanya kearifan lokal yang berkembang di wilayah kerja penyuluh adalah salah
satu aspek yang harus menjadi perhatian setiap penyuluh. [2]
Melihat
kondisi tersebut maka pembelajaran berbasis kearifan lokal bagi para penyuluh
maupun calon penyuluh sangatlah dibutuhkan. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun
2006 Tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada Pasal 26 Ayat 3
bahwa penyuluhan dilakukan dengan menggunakan pendekatan
partisipatif melalui mekanisme kerja dan metode
yang disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi pelaku utama dan pelaku usaha. Karenanya mengetahui kondisi pelaku
perikanan dengan mempelajari kearifan lokal yang ada pada lingkungan sasaran
penyuluhan amatlah dibutuhkan sebelum melakukan aksi penyuluhan. Dengan mengetahui hal tersebut diharapkan
akan menunjang keberhasilan kegiatan penyuluhan karena telah disesuaikan dengan
kearifan lokal yang ada. Sehingga diharapkan tidak terjadi conflict of interest pada proses pelaksanaan penyuluhan antara penyuluh
dengan sasaran penyuluhan.
Kabupaten Temanggung merupakan salah satu sentra tembakau, sehingga banyak penduduknya mengandalkan sektor ini sebagai urat nadi perekonomiannya. Kabupaten ini memiliki beberapa sumber mata air yang mengalir di sepanjang tahun karena letaknya yang berada di kaki Gunung Prahu SuSi (Gunung Perahu, Sumbing dan Sindoro). Sebagian besar lokasi yang berada tidak jauh dari kaki gunung tersebut menyumbangkan limpahan sumber air yang belum termanfaatkan secara maksimal. Bahkan saat musim kemarau pun sumber airnya tidak mengering dan terus mengairi sebagian besar wilayah di kabupaten ini. Sumber air tersebut tidak hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat, namun juga mampu digunakan sebagai sumber air untuk sektor perikanan. Sehingga kondisi ini memungkinkan dikembangkannya sektor perikanan yang masih belum tergali potensinya.
Nukilan diatas adalah salah satu karya ilmiah kearifan lokal yang ditulis oleh #penyuluhperikanan dan telah dipublikasikan dalam bentuk buku: Kearifan Lokal: Dari Tano Batak ke Maluku dengan editor Andin H. Taryoto. Untuk membaca secara lengkap, pembaca yang budiman dapat melihat dan mengunduhnya di link berikut ini: "PERTEMUAN KELOMPOK “SELAPANAN” DI KABUPATEN TEMANGGUNG"