Tujuan pembangunan perikanan dan kelautan sesungguhnya diarahkan untuk meningkatkan sebesar-besarnya kesejahteraan bagi nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Selama ini komunitas tersebut telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan Perikanan dan kelautan serta pembangunan ekonomi masyarakat pesisir dan perdesaan. Namun demikian, keberadaan mereka sangat bergantung pada sumber daya Ikan, kondisi lingkungan, sarana dan prasarana, kepastian usaha, akses permodalan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sehingga membutuhkan perlindungan dan pemberdayaan. Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah payung hukum yang menjamin eksistensi komunitas nelayan,pembudidaya ikan serta petambak garam dalam melakukan usaha perikanan dan kelautan.
Medio April 2016, Pemerintah mengesahkan Undang-undang nomor 7 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak garam . Setelah sebelumnya pada pada tahun 2013 Pemerintah telah terlebih dahulu menetapkan Undang-undang No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Perlindungan adalah segala upaya untuk membantu Nelayan, Pembudidaya ikan, dan petambak garam dalam menghadapi permasalahan kesulitan melakukan usaha Perikanan atau usaha pergaraman. Sedangkan pemberdayaan adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam untuk melaksanakan usaha secara lebih baik
Undang-undang no 7/2016 ini bertujuan untuk: 1) menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha; 2) memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan; 3) meningkatkan kemampuan dan kapasitas nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam; 4) menguatkan kelembagaan dalam mengelola sumber daya Ikan dan sumber daya kelautan serta dalam menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan; dan mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan; 5) menumbuhkembangkan sistem dan kelembagaan pembiayaan yang melayani kepentingan usaha; 6) melindungi dari risiko bencana alam, perubahan iklim, serta pencemaran; dan 7) memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum.
Keberadaan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam sebagai entitas penting dalam struktur masyarakat Indonesia menjadi alasan kuat adanya perlindungan dan pemberdayaan terhadap komunitas tersebut. Peran Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sangat signifikan untuk mengimplementasikan peraturan yang telah ditetapkan. Setidaknya terdapat 8 (delapan) strategi yang harus dilakukan oleh Pemerintah untuk urusan perlindungan yaitu : 1) penyediaan prasarana usaha perikanan dan usaha pergaraman; 2) kemudahan memperoleh sarana usaha perikanan dan usaha pergaraman; 3) adanya jaminan kepastian usaha; 4) adanya jaminan resiko penangkapan ikan, pembudidayaan ikan dan pergaraman; 5) menghapuskan praktik ekonomi biaya tinggi; 6) pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman; 7) adanya jaminan keamanan dan keselamatan; dan 8) tersedianya fasilitasi dan bantuan hukum. Adapun strategi pemberdayaan dilakukan melalui : pendidikan dan pelatihan; penyuluhan dan pendampingan; kemitraan usaha; kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi; serta penguatan kelembagaan.
Pembahasan mengenai pemberdayaan, tidak dapat dilepaskan dari penyuluhan. Sebab penyuluhan merupakan proses pemberdayaan masyarakat. Inti dari kegiatan penyuluhan adalah memberdayakan masyarakat. Dalam konsep pemberdayaan tersebut terkandung pemahaman bahwa proses tersebut diarahkan pada terwujudnya masyarakat yang beradab dan mandiri dalam pengertian dapat mengambil keputusan terbaik untuk kesejahteraannya sendiri. Amanah menyatakan bahwa komunitas petani, nelayan, dan peternak sangat bergantung pada eksistensi penyuluh dan keberlanjutan program penyuluhan. Kesulitan yang dihadapi komunitas tersebut di lapangan, bukan semata karena faktor teknis, tetapi persoalan yang lebih kompleks, seperti penanganan aspek resiko dan ketidakpastian, pengembangan jaringan pemasaran atau kerjasama dengan sektor swasta, pengorganisasian sumber daya manusia, dan peningkatan mutu produk.
Eksistensi Penyuluhan Perikanan dalam Peraturan Perundang-undangan RI
UU No. 7 tahun 2016 secara spesifik menyebutkan tentang strategi pemberdayaan melalui kegiatan penyuluhan dan pendampingan yaitu Pasal 12 ayat 3. Adapun pada pasal 49, Undang-undang tersebut mengamanatkan kepada Pemerintah Pusat sebagai pemilik kewenangan untuk menyediakan fasilitas penyuluhan dan pendampingan kepada nelayan, pembudidaya ikan serta petambak garam. Di antara fasilitas yang dimaksud adalah pembentukan lembaga penyuluhan dan penyediaan penyuluh. Penyediaan tenaga penyuluh paling sedikit terdiri atas 3 (tiga) orang penyuluh dalam 1 (satu) kawasan potensi kelautan dan perikanan. Penyuluh perikanan harus memiliki kompetensi di bidang usaha perikanan dan atau usaha pergaraman.
Selain Undang-undang No. 7 tahun 2016, sebelumnya telah ada UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan; Undang-undang No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan; UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah daerah, yang kesemuanya mengatur tentang penyuluhan perikanan. Diaturnya penyuluhan dalam beberapa Undang-undang tersebut menunjukkan peran pentingnya dalam pembangunan masyarakat perikanan dan kelautan. Penyuluhan merupakan bagian dari pendidikan yakni pendidikan non formal dimana daya jangkau pelayanannya kepada masyarakat lebih luas dibandingkan pendidikan formal. Pendidikan formal hanya menjangkau kelas-kelas masyarakat dalam rentang usia tertentu serta dibatasi ruang belajar. Adapun sasaran penyuluhan, tidak dibatasi oleh usia maupun profesi tertentu dan dapat dilakukan dimanapun serta kapanpun.
Menatap Era Baru Penyuluhan Perikanan
Dalam perspektif peraturan, penyuluhan sangat dibutuhkan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas SDM utamanya pada masyarakat kelautan dan perikanan. Sebab kualitas SDM adalah salah satu prasyarat yang menentukan nasib sebuah Negara dan eksistensinya di masa yang akan datang. Di masa lalu penyuluhan dianggap sebagai aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah bagi keuangan daerah, tidak bisa dilihat secara cepat hasilnya, dan hanya dilihat kepentingannya di saat genting seperti saat mitigasi bencana atau ketika ada wabah penyakit melanda. Berbagai persoalan menjadi kendala dalam kegiatan penyuluhan, diantaranya: 1) adanya kesalahan persepsi pada para penyelenggara penyuluhan di daerah; 2) citra penyuluhan dianggap masih kurang baik; 3) apriori di kalangan masyarakat tertentu terhadap penyuluhan; 4) di masa lalu penyuluhan terwarnai oleh muatan politik organisasi politik tertentu; dan 5) di era otonomi penyuluhan ditinggalkan oleh sebagian penguasa di daerah karena tidak jelas dan tidak tampak secara langsung.
Sejak diterbitkannya Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka urusan penyelenggaraan penyuluhan perikanan selanjutnya menjadi urusan Pemerintah Pusat yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan. Setelah melalui serangkaian proses identifikasi dan verifikasi P3D (Personel, Pendanaan, Prasarana dan Dokumen), maka sejak Oktober 2016, seharusnya seluruh penyuluh perikanan pengangkatan daerah secara status akan berubah menjadi penyuluh pusat. Namun sayangnya, Kementrian Kelautan dan Perikanan termasuk salah satu Kementrian yang terlambat dalam mengimplementasikan Undang-undang tersebut. Periode dua tahun sebagaimana yang diamanatkan undang-undang, belum terealisasi hingga saai ini. Menjelang akhir 2016, beredar kabar bahwa KKP belum menganggarkan untuk penyuluhan perikanan. Hal tersebut menjadikan Kemendagri selaku Kementrian yang bertanggungjawab atas pelaksanaan UU No. 23/2014 membuat Surat Edaran kepada Pemda agar Pemda tetap mengalokasikan APBD nya untuk kegiatan penyuluhan pada tahun 2017, sedangkan gaji para penyuluh dialokasikan melalui DAU.
Berkaca dari pengalaman di masa lalu dimana penyuluhan lebih banyak dimanfaatkan sebagai alat pencapaian target kuantitatif semacam produksi komoditas, sehingga kurang difokuskan kepada perbaikan mutu hidup petani dan keluarganya, maka seyogyanya kini peran penyuluh dikembalikan ke asalnya. Penyuluh berperan dalam membantu manusia agar dapat menolong dirinya sendiri. Artinya penyuluhan diarahkan untuk menyelesaikan akar permasalahan, tidak semata pada gejala yang muncul di permukaan. Contohnya adalah, persoalan klasik kekurangan modal tentu bukan membagi-bagikan dana sebagai solusinya. Lebih jauh, penyuluhan hendaknya tidak terkotak-kotak pada sektor atau komoditas, tapi lebih ditujukan pada pengembangan mutu hidup manusia dan lingkungannya. Hal ini mempertegas bahwa output penyuluhan tidak berada dalam ranah peningkatan produksi atau peningkatan kesejahteraan. Penyuluhan adalah salah satu komponen (hanya salah satu) dari beberapa komponen yang menunjang peningkatan produksi dan pendapatan. Komponen lain yaitu modal, iklim usaha, kebijakan pemerintah dan pasar.
Penyuluh sebagai motivator dan konsultan perikanan bagi pelaku utama |
Dari sisi ketenagaan, dengan menyadari pentingnya keberadaan penyuluh, pemerintah harus segera mencabut kebijakan moratorium PNS. Jika alasannya adalah karena keterbatasan anggaran, Pemerintah wajib melakukan evaluasi terhadap alokasi pos pemasukan dan pengeluaran APBN. Biaya-biaya bunga atas hutang LN hendaknya dipangkas dan dialihkan untuk pembangunan SDM Indonesia melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah juga harus memiliki pemetaan kawasan-kawasan potensial perikanan yang mendukung tercapainya program prioritas, sehingga memiliki landasan dalam penempatan SDM dan jumlah penyuluh perikanan di sebuah wilayah. Peningkatan kompetensi penyuluh perikanan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan serta uji kompetensi yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Kelautan dan Perikanan.
Penyuluh Perikanan harus didekatkan kepada sumber-sumber pengembangan teknologi yakni Perguruan Tinggi maupun Lembaga-lembaga Penelitian. Sehingga dalam proses diseminasi teknologi secara partisipatif kepada pelaku utama binaannya, penyuluh perikanan memiliki modal yang memadai. Aksesnya harus dipermudah dan didukung dengan anggaran yang cukup. Sehingga penyuluh perikanan betul-betul mampu menjadi role model bagi masyarakat. Secara spesifik, penyuluh perikanan dapat mengembangkan kekhususan kompetensinya sesuai bakat, minat, dan konsistensi bidang yang dimilikinya, bisa di bidang budidaya perairan, teknologi penangkapan ikan, pengolahan, pemasaran dan pengembangan kelembagaan sosial-ekonomi perikanan. Pada level kepakaran, penyuluh perikanan memilih spesialisasi yang ditekuninya.
Pengembangan metode dan media dan kemampuan komunikasi, menjadi aspek penting dalam mewujudkan keberhasilan kegiatan penyuluhan. Faktor utama yang perlu diperhatikan adalah karakteristik sasaran. Metode partisipatif dengan melibatkan pelaku utama sejak proses perencanaan,pelaksanaan sampai evaluasi penyuluhan, sejauh ini yang paling efektif untuk mempercepat perubahan perilaku pada diri pelaku utama dan pelaku usaha.
Menyikapi perubahan kewenangan penyelenggaraan penyuluhan, maka kelembagaan penyuluhan perikanan yang dinilai efektif dan efisien serta mudah dalam pengelolaan kinerja penyuluh ke depannya meliputi :
- Di tingkat pusat, berupa badan yang menangani penyuluhan pada Kementrian Kelautan dan Perikanan;
- Di tingkat regional, berupa Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup KKP;
- Di tingkat provinsi, berupa sekretariat penyuluhan di bawah UPT yang dipimpin oleh Koordinator Penyuluh Provinsi; dan
- Di tingkat kabupaten/kota, berupa sekretariat penyuluhan di bawah UPT yang dipimpin oleh Koordinator Penyuluh Kabupaten/Kota.
Akhirnya, jika pemangku kebijakan menyadari pentingnya penyuluhan dalam pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas, semua upaya akan dikerahkan untuk mendukung keberhasilan penyuluhan. Tetapi jika pembangunan SDM tetap tidak mendapat prioritas sebagaimana pembangunan infrastruktur, maka sampai kapan pun penyuluhan akan tetap dianggap tidak berhasil sebab outcome-nya bukan berupa materi fisik. Penyuluhan adalah sebuah system yang terdiri dari sub-sistem sub-sistem penunjangnya. Sub-sistem tersebut antara lain adalah : 1) input yakni masyarakat sasaran; 2) proses yakni kegiatan penyuluhan. Dimana kegiatan tersebut ditentukan oleh komponen tenaga penyuluh yang kompeten, metode penyuluhan yang efektif, media penyuluhan yang komunikatif, serta ketersediaan anggaran penyuluhan yang memadai; 3) output yakni perubahan perilaku masyarakat yang terlayani oleh kegiatan penyuluhan; serta 4) outcome yakni pengaruh perubahan perilaku terhadap produksi dan kesejahteraan.
Dalam konteks sistem, komponen proses yakni penyuluh, metode, media dan anggaran penyuluhan akan sangat mempengaruhi kualitas output dan outcome yang dihasilkan oleh kegiatan penyuluhan. Oleh karenanya menjadi wajib bagi penyelenggara penyuluhan agar memastikan komponen-komponen tersebut berperan sebagaimana mestinya. Pelaksanaan Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru yaitu UU No. 23 tahun 2014 diharapkan menjadi katalisator bagi percepatan perubahan arah penyelenggaraan penyuluhan perikanan menjadi lebih baik dan mampu memenuhi target pembangunan SDM Indonesia.
Oleh:
Sukma Budi Prasetyati, S.Pi
Penyuluh Perikanan Kab. Sukabumi
Referensi:
Undang-undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.
Mardikanto, Totok. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. LPP UNS. Surakarta.
Amanah, Siti. 2007. Makna Penyuluhan dan Transformasi Perilaku Manusia. Jurnal Penyuluhan. Vol. 3 No. 1. Institut Pertanian Bogor.
Anwas, Oos M. 2013. Pengaruh Pendidikan Formal, Pelatihan dan Intensitas Pertemuan terhadap Kompetensi Penyuluh Pertanian. Jurnal. Pustekkom kemdikbud. Banten.
0 komentar:
Posting Komentar