31 Mar 2017

Nada Sumbang Penyuluhan; Dihimpit Oleh Kemajuan Jaman, Pergeseran Sosial Budaya, Serta Keberpihakan

Oleh: Betha Yuda Rianto*

Masa orde baru (1970-an) merupakan era keemasan bagi penyuluh, pada saat itu peran penyuluh menjadi primadona bahkan sangat diandalkan dalam memajukan perekonomian Indonesia. Penyuluhan telah mencatatkan hasil gemilang dengan mengantarkan kesuksesan swasembada beras di sektor pertanian. Penyuluh ditempatkan pada posisi sebagai agen “serba tahu” dan sebagai pembawa misi program pemerintah pusat ke daerah, dimana hal tersebut juga dikuatkan oleh dukungan politik serta finansial yang sangat baik.

Penyuluhan, sesuai dengan namanya, berasal dari kata “suluh” yang berarti obor penerang. Amanah (2006) menyatakan bahwa penyuluhan adalah upaya merubah perilaku individu, kelompok, atau komunitas agar tahu, mau dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi supaya dapat hidup lebih baik dan bermartabat. Penyuluh dituntut mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap pelaku utama dan pelaku usaha perikanan yang ada saat ini ditengah tantangan serta keterbatasan fasilitas yang ada saat ini. Pengetahuan dikatakan meningkat jika terjadi perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, keterampilan dikatakan meningkat bila terjadi perubahan dari yang tidak mampu menjadi mampu melakukan pekerjaan yang bermanfaat, dan sikap dikatakan meningkat bila terjadi perubahan dari tidak mau menjadi mau menciptakan kesempatan kesempatan yang diciptakan. (Ibrahim, et-all, 2003 :1-2).
Ilustrasi: Penyuluh perikanan Yanche Her (FB) sedang memberikan pembelajaran dan penyuluhan kepada pelaku utama

Di masa sekarang, jika berbicara tentang penyuluhan maka penyuluh tidak lagi diposisikan sebagai penerang dan subjek yang serba tahu. Pelaku utama / usaha tidak lagi ditempatkan sebagai objek melainkan subjek dalam pembangunan, yaitu sebagai mitra dalam pembangunan. Pelaku utama / usaha merupakan kelompok manusia dewasa dengan bekal pengalaman, bukan lagi orang-orang yang tidak memiliki pengalaman apa-apa, sehingga keberadaan Penyuluh dan pelaku utama / usaha sama-sama menjadi agen pembangunan yang saling melengkapi.

Nada sumbang tentang eksistensi penyuluhan saat ini begitu terasa, penulis merangkum ada tiga (3) masalah penting yang menyebabkan hal ini terjadi yaitu: 1) Kemajuan teknologi informasi; 2) Pergeseran sosial budaya bangsa; dan 3) Arah dan kebijakan pembangunan negara yang menempatkan penyuluhan hanya sebagai pelengkap. Peran Penyuluh sebagai fasilitator, motivator, dinamisator bahkan sebagai agent of change dengan adanya globalisasi, pasar bebas, dan pemberlakuan MEA, membuat penyuluh secara tidak langsung mengalami kompleksitas dalam melaksanakan tugasnya. Model pendekatan lama dimana penyuluh adalah agen transfer teknologi dan informasi sudah tidak memadai, sebab tuntutan tugas di lapangan sudah sangat rumit. Masyarakat telah dibiasakan dengan program-program pembangunan yang secara tidak langsung telah membuat pergeseran mind set. Program bantuan langsung berupa hibah atau sejenisnya menciptakan kebiasaan-kebiasaan buruk yaitu ketergantungan dan penurunan daya juang. Penyuluh jelas merasakan secara langsung dampak dari perubahan mind set masyarakat ini. Jika penyuluh turun lapang dan tidak membawa program, maka eksistensinya akan langsung diabaikan.

Bergesernya kondisi sosial budaya masyarakat saat ini, menjadi tantangan berat bagi penyuluh dalam melaksanakan tugasnya. Cukup banyak pelaku utama/ usaha yang beranggapan bahwa penyuluh yang hadir di tengah tengah mereka adalah sebagai akses menembus “program” yang cukup menggiurkan, sehingga tidak heran ada beberapa pelaku usaha yang menyulap usahanya menjadi bentuk kelompok. Kelompok menjadi sebuah prasyarat karena sebuah program tidak dapat diberikan kepada perorangan melainkan harus dalam bentuk kelompok. Ada banyak cara mereka menyulap diri menjadi bentuk kelompok seperti halnya kelompok yang berisikan saudara/ kerabat, kumpulan perangkat desa, kelompok pemuda, dan juga misionaris partai politik yang ada di daerah, mereka berlomba lomba menebar jaring guna menggapai/ meminta “bantuan” program baik di pusat ataupun daerah. Sehingga tidak heran kita dengar ada anekdot sehari-hari karena adanya sebuah kebenaran di dalamnya seperti halnya istilah “Pokdakan” yang seharusnya singkatan dari Kelompok Pembudidaya ikan, menjadi Kelompok dadakan. Fakta ini membuat penyuluh sebagai perwakilan pemerintah tidak berdaya menghadapi perubahan sosial masyarakat yang ada di sekitarnya, karena kita tahu bahwa sebenarnya penyuluh hadir bukan untuk itu, tetapi hadir guna pemberi terang untuk meningkatkan kesejahteraan dan menumbuhkan kemandirian individu yang tergabung dalam sebuah kelompok.

Keberpihakan Pemerintah menjadi kunci atas merosotnya citra penyuluh. Penyuluh di era 1970-an ditempatkan sebagai salah satu pihak yang berjasa dalam pembangunan perekonomian. Alasannya adalah penyuluh sebagai garda terdepan dalam pembangunan, pendobrak keterbelakangan pengetahuan dan wawasan masyarakat dengan pesan program serta teknologi terbarukan. Saat ini penyuluh bukan satu-satunya wakil pemerintah yang dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat pelaku utama / usaha. Dinas teknis, Dirjen terkait juga melakukan hal yang sama terhadap objek yang sama seperti halnya penyuluh. Namun terlihat adanya perbedaan antara safari penyuluh dengan yang lainnya yaitu mereka hadir di tengah-tengah masyarakat dengan bekal program, sedangkan penyuluh saat ini yang hanya melakukan pendekatan “tanpa program”. Hal ini diperparah lagi dengan lemahnya koordinasi. Koordinasi menjadi hal yang sangat mudah untuk diucap tetapi sulit dalam pelaksanaannya. Walau berada dalam rumah yang sama, dengan objek yang sama tetapi pekerjaan tidak dapat dilakukan bersama-sama. Pembangunan saat ini dominan mengejar target bersifat fisik jangka pendek dengan ruang yang cukup besar dibandingkan pembangunan dalam bentuk karakter yang bersifat jangka panjang melalui pendidikan serta penanaman nilai-nilai luhur agama dan bangsa.

Kita sadari bahwa teknologi Informasi berkembang sedemikian pesatnya dimana segala berita dapat diterima dalam waktu yang sangat cepat dan singkat, serta memudahkan kita untuk belajar dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan dimana saja, kapan saja, dan dari siapa saja. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa teknologi informasi mempunyai peranan penting bahkan menjadi tolok ukur dalam kemajuan perekonomian suatu negara. Maka tidak heran jika kemajuan teknologi dan informasi memberikan peluang konsumen secara individual dapat melakukan kontak langsung dengan produsen (pabrik) sehingga pelayanan dapat dilaksanakan secara langsung tanpa melalui perantara. Selera individu dapat dengan mudah dipenuhi dan yang lebih penting konsumen tidak perlu lagi pergi ke toko.

Teknologi informasi sudah mengalir deras dan tidak dapat dielakkan lagi dalam era globalisasi ini. Berkembangnya teknologi informasi, di satu issi, membawa keuntungan yaitu pelaku utama/usaha dapat langsung memperoleh pengetahuan/ informasi dengan cepat tanpa melalui penyuluh sebagai salah satu sumbernya. Namun demikian, globalisasi tidak seluruhnya membawa nilai positif bagi bangsa ini, sehingga diperlukan upaya untuk memproteksi generasi penerus terhadap ancaman negatif dari teknologi. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan pendidikan (formal dan non formal) serta pendekatan agama yang mampu membentengi pengikisan norma, serta kearifan lokal yang telah ada. Lagi-lagi keseriusan pemerintah diperlukan dalam hal ini, karena pemerintah selaku pengatur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negara ini.

Pergeseran mind set telah membentuk cara pandang baru pada pelaku utama/ usaha yang sedikit atau banyak telah menggusur nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan lokal adalah gagasan – gagasan setempat (lokal) bersifat kebijaksanaan, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Indonesia kaya akan keanekaragaman kearifan lokal yang menjadi panutan perilaku kehidupan -misalnya kota Palangkaraya memiliki motto : “Issen mulang” (Pantang mundur, tidak pulang jika tak menang); di Manado Sulut terdapat motto “Si Tou Ti Mou Tu Mou Tou” (artinya orang hidup untuk menghidupkan orang lain) yang hakekatnya hidup haruslah tolong menolong; di Makasar ada “Sipakatau, Sipakainga, dan Sipakalebbi” (saling menghargai, saling memuliakan, dan saling mengingatkan); di Jawa Tengah ada “Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorke” yang artinya berjiwa ksatria menghadapi sendiri, dan menang tanpa merendahkan siapapun (Sedyawati, 2008)- sudah mulai ditinggalkan seiring dengan kemajuan jaman yang dinamakan globalisasi. Kearifan lokal sering dituding terlalu tradisional, jadul, dan statis.

Secara ideologi bangsa ini seolah-olah mengalami disorientasi, kehilangan jati diri (identitas) dengan adanya anggapan bahwa nilai nilai kearifan lokal adalah nilai-nilai yang telah usang (obselete) dan kuno sehingga layak ditinggalkan, karena tidak relevan dengan kemajuan saat ini. Dalam gaya bahasa sarkasme , bisa dikatakan ibarat laying-layang yang putus talinya terombang – ambing mengikuti arah angin bertiup, dipermainkan angin dari lingkungan strategis.

Di dunia penyuluhan pergeseran norma sosial yang terasa adalah budaya meminta yang menjangkiti pelaku utama/ usaha. Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi salah satu dari tiga orang, yaitu 1) seseorang yang menanggung hutang orang lain; 2) seseorang yang terkena musibah sehingga menghabiskan hartanya hingga dia mampu mendapatkan sandaran hidup; 3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup. Selain itu sebagai hamba Tuhan yang memiliki kesehatan secara fisik, maka orma agama menganjurkan kita untuk berusaha dan mencari nafkah apapun itu bentuknya selama itu halal dan baik untuk menjaga kehormatan diri mereka dengan tidak meminta minta.

Penyuluh pun tidak bisa lepas dari sorotan, penyuluh sebagai pelayan masyarakat harus memberikan contoh yang baik, terlebih sekarang Slogan yang digalakkan dimana-mana adalah “Pelayanan Prima”, maka awal dalam bekerja harus dimulai dengan niat guna mencari rizki karena ridho Tuhan, dari niat tersebut muncullah semangat dan sikap yaitu semangat bersungguh sungguh, tekun, profesional serta sikap Jujur dan Amanah. Penyuluh juga dituntut untuk selalu meningkatkan kapasitas keilmuannya agar tidak kalah tertinggal daripada pelaku utama / usaha yang dibinanya melalui teknologi informasi serta pendidikan yang dimilikinya.

Pemerintah selaku pemangku kebijakan dan pembuat regulasi dalam tata perekonomian bangsa juga harus mampu menempatkan diri sesuai kapasitasnya. Setiap kebijakan yang diambil oleh pemegang kekuasaan negara, baik eksekutif maupun legislatif harus didasarkan pada tujuan untuk mewujudkan kepentingan rakyat yang bersifat umum serta menghilangkan akibat buruk. Dalam implementasinya mencegah akibat buruk harus didahulukan daripada upaya mewujudkan kebaikan.

Pemerintah juga harus mampu memberikan contoh kepemimpinan yang baik. Jika diibaratkan sebuah tubuh manusia, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya, ia memiliki peran yang strategis dalam mengatur pola dan gerakan tubuhnya. Kecakapannya dalam memimpin akan mengarahkan masyarakatnya pada tujuan yang ingin dicapai yaitu kejayaan dan kesejahteraan rakyat. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengedepankan prinsip musyawarah mufakat dalam kemaslahatan, tidak otoriter/ memaksakan kehendak, serta memiliki kemampuan mendengarkan yang cukup baik.

Nada sumbang penyuluhan yang terjadi saat ini membutuhkan usaha keras bersama agar menciptakan nada yang merdu, dengan kerjasama yang harmonis antara penyuluh, pemerintah, pelaku utama/ usaha dalam kerangka mempertahankan nilai agama, norma, kearifan lokal dari gempuran nilai-nilai negatif yang masuk akibat derasnya arus globalisasi.

*) Penulis adalah penyuluh perikanan Provinsi Banten
Share:  

0 komentar:

Posting Komentar